Usianya sudah tak muda lagi, Badannya
sudah lumpuh, Mata kirinya diuji dengan rabun. Telinganya didera radang.
Paru-parunya digerogoti alergi. Namun meskipun tubuhnya lemah, jasadnya paling
dicari Israel.
“Adakah segala macam penyakit dan
kecacatan yang tertimpa ke atasku turut menimpa bangsa Arab hingga menjadikan
mereka begitu lemah?”
Begitulah cara Asy-Syahid Syekh Ahmad
Yasin mendefinisikan arti perjuangan atas pembebasan tanah wakaf kaum muslimin
di Palestina.
Jika umat Islam lupa kewajiban
membebaskannya, biarlah ia bersama kursi rodanya yang menebusnya.
“Aku tidak mampu kemana-mana untuk
memenuhi hajatku kecuali jika mereka menggerakkan (kursi roda)-ku …. Adakah
hati kalian tidak bergelora melihat kekejaman terhadap kami sehingga tiada satu
kaumpun bangkit menyatakan kemarahan karena Allah?”
Namun, biarkan Syekh Ahmad Yasin
menerjemahkan arti perlawanan dengan caranya: merancang kelompok Mujahidin
Palestina tahun 1982, meletuskan intifadhah Desember 1987, hingga lahirlah
Hamas satu pekan kemudian.
Demikian takutnya Yahudi kepada spirit
perlawanannya, Israel sampai harus menjatuhkan hukuman seumur hidup plus 15
tahun bagi Syekh Ahmad Yasin. Ya, untuk seorang ulama yang mengaku tak mampu
memapah senjata dan mengangkat pena karena tangannya lumpuh.
Jika Golda Meir menyumbangkan setengah
hartanya untuk Israel, maka Syekh Yasin menyerahkan seluruh hidupnya untuk
Islam.
Begitulah cara Syekh Yasin mengajari kita
bagaimana menjadi umat Islam, yang lumpuhnya saja ditakuti musuh. Pria
kelahiran 1938 yang hampir tak bisa menggerakkan bagian tubuhnya sendiri, namun
oleh Allah diberi kemampuan menggerakkan jiwa raga jutaan orang.
“Tidak ada sejarah seperti yang diukur
Syekh Yasin, di mana pemimpin yang lemah (karena cacat fisik) mampu mengubah
menjadi kekuatan,” kata Dr Asy-syahid Abdul Aziz Rantisi.
Hari-hari Syekh Yasin diisi dengan ibadah,
luangnya dipenuhi dengan tarbiyah, tangan dinginnya dipakai untuk melahirkan
kader dakwah. Maka muncullah Abdul Aziz Rantisi, Ismail Haniya, Khalid Misyal,
dan lainnya. Anak-anak muda yang gigih bersamanya mengagagas Hamas, satu pekan
pasca meletusnya intifadhah.
Telah berkali-kali Syekh Yasin hidup dalam
penjara bersama kursi rodanya. Dari mulai tahun 1965, 1985, dan 1989.
Dalam pengadilan terakhir, beliau divonis seumur
hidup plus 15 tahun. Tuduhannya, mendalangi serangan rakyat Palestina atas
Israel dan melucuti senjata serdadu-serdadu Israel, warga Yahudi, serta
penculikan terhadap agen-agen Israel.
Di dalam penjara, pukulan bertubi-tubi
bersarang di mata dan kepalanya. Namun siksaan itu dilaluinya dengan tawakal
dan penuh kesabaran. Karena semuanya adalah bagian dari perjuangan.
Syekh Yasin akhirnya berhasil bebas pada
tahun 1997 akibat pertukaran tawanan. Anak-anak didiknya di Hamas berhasil
menawan dua agen Mossad yang hendak meracuni Khalid Misyal.
Keluar dari penjara, Syekh Yasin kembali
menyuarakan perjuangan untuk membebaskan Palestina.
Bersama Hamas, beliau kembali melakukan
perlawanan kepada Israel ketika Ariel Sharon menyatroni Masjid Al Quds dan diikuti
dengan pembunuhan terhadap jamaah shalat. Bentrokan antara tentara Israel dan
rakyat Palestina pecah. Meletuslah intifadhah kedua.
Beragam cara dilakukan Israel untuk
membunuh Syekh Yasin dan selalu gagal. Hingga pada Senin subuh, 1 Shafar 1425 H/
22 Maret 2004 M, Apache Israel buatan Amerika Serikat mendekat, lalu
memuntahkan tiga buah roket ke tubuh lemah berjiwa baja di atas kursi roda itu.
Suara gelegar tiga roket meledak itu
seakan menghancurkan langit Gaza Subuh itu. Abdul Hamid, anak Syekh Yasin,
terlempar beberapa belas meter dari posisi dekat dengan ayahnya.
“Saya sama sekali tak bisa melihat di mana
tubuh ayah saya,” kenangnya. “Di dekat saya sedikitnya ada lima jenazah yang
hancur bergelimpangan… Darah muncrat dan membanjir kemana-mana…”
Hari itu, menjadi hari duka bagi rakyat
Palestina. Jutaan rakyat Palestina menangis. 200 ratus ribu orang
mengantarkannya ke pemakaman. Gema takbir membahana menyelimuti langit Gaza.
Jasadnya boleh tiada, namun gagasan dan
cita-cita terus mengalir menembus jiwa-jiwa kaum muslimin demi melanjutkan
perjuangannya.
“Tanah Islam secara paksa telah dirampas
oleh Yahudi Zionis dan itu hanya bisa direbut kembali dengan kekuatan.
Palestina adalah tanah wakaf yang tidak bisa diserahkan, walaupun hanya satu
inchi, untuk itu kamu bersedia melakukan segalanya,” pesannya.
[Beritagar-id/Islampos]