"Organisasi LGBT di Indonesia terbesar dan tertua di Asia, dari tahun 1992. Mereka berani keluar, saat ini setelah 25 tahun akhirnya mereka keluar. Mereka propagandakan gerakan bawah tanah gerakan penularan. Mereka kan dari tahun 1982-1992 dulu tertutup, saat ini banyak euforia di AS, mereka itu liberal," ungkap Ketua Divisi Kajian Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) Dinar Kania dalam diskusi kajian LGBT dalam Perspektif Keilmuan di Kampus Universitas Indonesia (UI) Depok, Jumat (26/2/2016) sore.
Dinar menjelaskan, AS saja tidak meratifikasi CEDAW yakni konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan berbagai kebijakan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang sudah meratifikasi CEDAW.
"Kesetaraan gender jadi program pemerintah, ini satu paket di mana seolah masyarakat sudah melegalkan," ujarnya.
Menurutnya, orang-orang yang berjuang tentang kesetaraan gender tidak tahu kalau ada ekses di akhirnya bahwa akan melegalkan LGBT. "Kalau kita tarik ke belakang itu satu paket. Tidak mungkin memperjuangan kesetaraan gender kalau tidak melegalkan LGBT. mereka bilang kemunafikan tak memperjuangkan lesbian," paparnya.
Bahkan Dinar menyebut bahwa gerakan ini merupakan gerakan bawah tanah yang didanai dan sudah berbentuk jaringan. Semula kelompok ini bergerak dari sosialisasi HIV/AIDS untuk bergerak dengan kampanye secara terbuka.
"Gerakan bawah tanah awalnya, mereka terbuka lakukan kajian-kajian ilmiah Barat dibawa ke sini. Mereka sosialisasikan ke para pemangku kebijakan. Berikan sosialisasi, dapat dana dari luar memengaruhi. Pejabat pun banyak yang terkena."
"Betul didanai, jadi ini jaringan. Dulu ada RUU Kesetaraan Gender tahun 2011 di DPR. Kita diundang dan mengatakan bahwa eksesnya LGBT akan dilegalkan. Dulu orang bilang itu hanya paranoid, gender tak akan legalkan LGBT. Sekarang saat ini sudah masif di media kita baru bilang bahwa ini ada hubungan yang sangat erat," tandas Dinar.